Br. Gerardus, MTB

Bumi kita sedang sakit. Bahkan dari hari ke hari sakitnya bertambah parah. Jika bumi sakit-sakit, dia pun akan mengancam kesehatan kita semua. Walaupun bumi sedang sakit, kita manusia terus-menerus mengeksploitasi dan mencemarinya dengan berbagai macam cara demi memuaskan kebutuhan hidup. Nurani ekologi kita manusia dewasa ini semakin tumpul bahkan mati, sehingga menambah penderitaan (penyakit) yang lebih parah terhadap bumi. Sesungguhnya, tidak hanya bumi yang terancam dan sakit ini, tetapi hidup kita manusia pun sedang dalam keadaan terancam sakit menunggu kematian. Bumi ini sakit karena ulah kita manusia yang egois dan serakah.

Kesadaran manusia akan nurani ekologi masih sangat rendah. Kita manusia tetap mempertahankan keegoan masing-masing. Ego tersebut membentuk suatu cara berpikir, sikap, dan tindakan manusia itu sebagai tuan, penguasa, sehingga  berkuasa dan menaklukan seluruh alam ciptaan ini tanpa ada bela rasa lagi. Padahal seluruh ciptaan ini merupakan karunia dan anugerah dari Sang Pencipta kepada manusia yang harus diolah dan dikelola sesuai dengan tata rencana dan kehendak Pencipta. Egonya manusia telah membelok arah bukan mengikuti rencana dan kehendak Pencipta melainkan dirinya sendiri. Karena egonya itu, bumi kita semakin hari sakitnya semakin parah dan menunggu kematian.

Dewasa ini manusia mengalami perubahan dan perkembangan begitu pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam tata kelola alam semesta ini, manusia tidak cukup mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita manusia masih membutuhkan iman sebagai self control. Untuk mengolah dan mengelola alam semesta diperlukan perpaduan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan iman. Ketiganya itu menyingkapkan kepada kita akan arti dan makna alam semesta; mengapa ada semesta, dari mana asalnya, ke mana perginya, dan apa peranya dalam hidup manusia? Masing-masing tidak dapat dipertukarkan atau saling menggantikan, tetapi saling berkolaborasi dengan tetap menghormati kemandirinya dan perannya. Diharapkan ketiganya jalan bersama secara sinergis dan tidak mengesampingkan yang lain dalam mengelola dan mengolah alam semesta ini. Pencipta menghendaki agar manusia dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan iman secara bertanggung jawab bukan hanya mengetahui, memiliki, dan menaklukkan bumi melainkan melindungi, merawat, melestarikan, dan mengembangkan untuk melayani semua makhluk hidup.

Perubahan dan perkembangan itu semua membawa dan mengarahkan kita pada tujuan hidup, yakni keadilan dan kesejahteraan bersama bukan untuk diri sendiri atau pun kelompok. Arah yang kita tuju jelas mencapai keadilan, penuh kedamaian secara integral-menyeluruh yang diusahakan secara kreatif berkat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan iman. Inilah tugas ajaib manusia; tapak yang dikehendaki Pencipta, sehingga semua umat manusia diberi kesadaran yang tajam akan tanggung jawab atas alam semesta. Tanggung jawab inilah yang disebut nurani ekologi atau istilah Paus Fransiskus pertobatan ekologi.

Akan tetapi, dewasa ini umat manusia semakin keluar dan menjauh dari nurani ekologi, tidak sedikit masalah ekologi mendera ibu bumi-rumah kita bersama. Michel Quoist dalam bukunya Dieu m’attend 1997 mencatat keadaan bumi ketika manusia menjauh dari nurani ekologi. Dia mengatakan keadaan dewasa itu begini, orang-orang tertentu memanfaatkan banyak air, tetapi yang lain kekurangan air bahkan tidak mendapatnya; orang-orang tertentu menghirup nafas udara bersih, tetapi yang lain menghirup polusi udara; orang-orang tertentu menikmati sinar matahari, tetapi yang lain mendiami rumah yang tidak pernah disinari matahari; orang-orang tertentu hidup di tengah padang hijau, tetapi yang lain di tengah bebatuan dan beton semen; dan orang-orang tertentu beramai-ramai memborong tanah, tetapi yang lain kehilangan tanah garapan untuk hidup.

Dewasa ini juga sebagian kita manusia bukan hanya merampok dan menjarah tanah, air, udara, sehingga bumi dan banyak orang menderita sakit atau mati terlalu awal melainkan tetap saja melakukan eksploitasi bumi tanpa ada rasa menghormati dan belarasa. Kesadaran akan nurani ekologi sangat kurang, sehingga mendatangkan kerugian bagi banyak pihak. Mereka bukan pro pada kehidupan melainkan mengorbankan bahkan membunuh yang lain demi egoistisnya. Tindakan demikian telah meluluhlantakan keseimbangan kodrat jagat raya. Kalau bumi merupakan perpanjangan tubuh manusia dapat pastikan bahwa  ketika bumi jatuh sakit akan menularkannya kepada manusia. Ketika keadaan bumi semakin buruk, nasib manusia juga semakin buruk.

Air dan udara kerap tercemar tiada henti, tanah dan bumi kecapekan, sumber daya alam terkuras, terperas, dan terampas. Kaum kecil, miskin terpinggirkan yang pertama menderita sakit. Mereka kurang makan dan minum padahal berada di alam yang sama, mereka mati terlalu pagi, buruh pabrik menghirup udara beracun bertahun-tahun, penambang hanya mengenyam cahaya lampu, anak-anak tidak melihat mengenyam matahari, kaum tani kehilangan tanah garapan, nelayan kehilangan laut untuk menangkap ikan, para pemulung tidur di atas tumpukan sampah. Pencemaran telah meninggalkan kawasan kantong yang dihuni kaum miskin dan cam-kam konsentrasi yang menyedihkan. Polusi itu telah menyebar dengan batas yang tidak jelas lagi masuk sampai kawasan luas, pantai-laut, sungai, danau, parit, dan daratan. Bahkan pencemaran itu mencapai tingkat ketinggian atmosfer, mengganggu iklim dan cuaca.

Manusia yang tidak memiliki nurani ekologi mendatang masalah bagi jagat raya dan manusia itu sendiri. Masalah kita bukan memutar balik dan menghukum ilmu pengetahuan, industrialisasi, perkembangan teknologi melainkan ke mana kiblat semua kemajuan dan perkembangan itu? Panggilan kita sama, yakni ke arah kesejahteraan, keadilan, kedamaian untuk hidup bersama-sama sesuai dengan kehendak tata Pencipta.

Nurani ekologi mengajak kita belajar lagi untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan relasi manusia dengan jagat raya ini. Kita memerlukan suatu komitmen bersama untuk saling menghormati; menjaga keseimbangan, untuk mengembangkan alam raya dan kehidupan manusia. Kita membangun kembali tanggung jawab atau nurani ekologi secara bersama bukan perorangan atau sekelompok lagi karena dampaknya untuk semua. Dengan dasar itu, kita bersama berlangkah maju menuju keselarasan definitif yang dikehendaki Sang Pencipta.

Kita semua berjalan maju menuju ke arah kontak yang sehat dengan alam, pengembangan manusia, dan keinginan Sang Pencipta. Paradigma kita harus melihat jauh ke depan bahwa Allah Bapa tidak hanya memberi harta kekayaan di bumi ini untuk manusia hidup bahagia; bukan hanya bahan pokok menjadi asalnya; dan sumber-sumber makanan sehari-hari agar manusia berkembang mencapai kepenuhan. Sebaliknya, bumi-alam semesta ini menjadi tempat istimewa dan utama manusia berjumpa dengan Bapa Sang Pencipta. Perjumpaan itu akan menjadikan manusia ikut ambil bagian dalam pemenuhan ciptaan-Nya. Allah menganugerahkan alam raya secara istemewa dan ajaib kepada manusia dengan pesan bahwa kepada manusia Allah memberikan tanggung jawab (nurani ekologi) untuk mengurus dan mengembangkannya bagi kebutuhan hidupnya dan generasi mendatang. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan iman diarahkan untuk membangun kesadaran manusia akan nurani ekologi. Semua orang bertanggung jawab atas bumi yang telah sakit parah seperti merawat dan mengobati tubuhnya sendiri. Sekecil apa pun yang dibuat demi keselamatan tubuh demikian pula untuk bumi seperti Yesus yang turun ke bumi dengan tubuh manusia dan dengan tubuh itu pula Ia kembali ke surga. ***


*Artikel ini telah di muat di San Damiano – Buletin JPIC-Bruder MTB, Edisi 01 Semester 1 – Tahun 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *