JPIC Bruder MTB: Ekopedagogi untuk Masa Depan

0

Pada tanggal 11 Maret 2021 Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) merayakan 100 tahun berkarya di Indonesia. Perayaan yubelium 100 thn tersebut mengusung tema “Mendidik Tanpa Batas.” Tema tersebut dimaksudkan bahwa kelima bruder misionaris awal (Br. Canisius van de Ven, Br. Martenus Brouwers, Br. Longinus, Br. Serafinus van Tilborg, dan Br. Leo Geers) datang ke Borneo, Indonesia dengan berkobar-kobar menyebarkan pengetahuan dan menebarkan iman kepada orang muda yang lemah jasmani dan rohani. Mereka mengabdikan diri di bidang pendidikan baik di sekolah maupun asrama. Dalam pengabdian tersebut mereka menghidupi semangat Simplisiter et Confidenter (kesederhanaan dan kepercayaan) yang merupakan moto dari Mgr. Johannes van Hooydonk Keuskupan Breda, pendiri Kongregasi Bruder MTB di Huijbergen-Belanda.

Mendidik tanpa batas dimaksudkan bahwa pendidikan atau belajar itu dilakukan terus-menerus sepanjang hayat (long life education). Pendidikan atau pembelajaran tidak terbatas di bangku sekolah. Di bangku sekolah hanya membuka jalan, selanjutnya kita terus-menerus belajar untuk memekarkan diri di segala tempat, waktu dan kesempatan. Kita juga dapat belajar dari pengalaman karena pengalaman merupakan guru terbaik. Dunia pengetahuan dan teknologi terus berubah dan sangat cepat perubahannya. Apalagi di saat menghadapi pandemi Covid-19, semua berubah sangat cepat. Pendidikan dan pembelajaran yang sebelumnya mengandalkan ruang kelas secara konvensional berubah menjadi pendidikan-pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan internet untuk belajar secara virtual (digital-online). Covid-19 mendorong kita berubah dan belajar menggunakan teknologi untuk membantu kita dalam pendidikan-pembelajaran. Dengan demikian, tiap pendidik mau tidak mau belajar menggunakan berbagai aplikasi untuk pembelajaran secara digital (online) bahkan blended learning.

Pendidikan-pembelajaran secara digital di masa pandemi Covid-19 merupakan alat-sarana untuk membantu proses pemekaran diri orang muda bukan tujuan. Kadang-kadang kita sibuk, merasa puas dan berhenti pada penggunaan alat-sarana tersebut, sehingga tidak mencapai esensi dari pendidikan. Pendidikan itu memanusiakan manusia muda agar menjadi manusiawi. Artinya dengan pendidikan, pribadi-pribadi mampu membangun relasi dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidup (alam semesta). Dengan kata lain, pendidikan itu memekarkan diri terutama akal budi (pikiran), hati (afeksi) dan tindakan berupa keterampilan anggota tubuh yang selaras dengan pikiran dan perasaan. Selain itu, pendidikan menumbuhkan dalam diri orang muda akan kepekaan, kepedulian, solider, bela rasa dan bela kasih yang sangat diperlukan untuk membangun kesadaran diri akan karakter dan nilai-nilai hidup.

Pendidikan-pembelajaran secara digital juga perlu membantu orang muda agar memaksimalkan kemampuan mata untuk melihat, telinga untuk mendengarkan, mulut untuk berbicara dan tangan untuk menuliskan pikiran dan perasaannya. Empat hal tersebut dalam Bahasa dikenal sebagai kemampuan untuk membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Hal ini menjadi kemampuan dasar dalam pendidikan-pembelajaran (literasi baca tulis). Mustahil kita mengharapkan orang muda belajar dan terus belajar tanpa menguasai kemampuan dasar tersebut.

Pendidikan dan pembelajaran dewasa ini harus berakar pada konteks lingkungan hidup dan kearifan lokal orang muda (kebutuhan anak). Hal ini menjadi point penting yang perlu diperhatikan oleh para pendidik karena kita sedang mengalami Covid-19 dan krisis lingkungan hidup bahkan sedang bergulat dengan krisis multidimensi kehidupan. Virus yang menakutkan ini merupakan akibat dari krisis lingkungan hidup, sehingga kita diwajibkan mengikuti peraturan kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Walaupun demikian, kita perlu kritis bahwa jangan sampai memakai masker lalu menutup muka (mata) terhadap jeritan sesama dan alam; menjaga jarak lalu menjadikan kita individual; dan mencuci tangan menjadikan kita menjauhkan diri (tenang saja) dari segala krisis lingkungan hidup. Sesungguhnya, bukan alam yang krisis melainkan kita manusialah yang mengalami krisis.

Pendidikan-pembelajaran mesti peka terhadap krisis manusia dan lingkungan hidup. Perubahan iklim yang ekstrem, polusi atas tanah, air dan udara, kekurangan air bersih, populasi flora dan fauna semakin langka, sampah yang terus meningkat, dan sebagainya menjadi ancaman kehidupan sekarang dan mendatang. Akibat perubahan iklim yang ekstrem, ke depan kita akan mengalami kelaparan karena gagal panen dan sulit bagi petani untuk bercocok tanam. Maka, persoalan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan ke depan kita sangat tergantung pada impor. Untuk itu, pendidikan-pembelajar perlu mendesain kembali agar model pembelajaran yang menjawab-menanggapi kebutuhan dan kondisi tersebut. Orientasi pendidikan orang muda bukan lagi menjadi pegawai negeri karena semakin hari negara semakin sulit membayar gaji pegawainya. Ke depan pendidikan-pembelajaran mendekatkan orang muda pada konteks lingkungan hidup (ekologi) dan berbagai persoalannya. Orang muda diarahkan lebih akrab-dekat dengan tanah, air, flora dan fauna agar bereksplorasi dan kreatif mendayagunakan sumber daya alam tersebut untuk hidupnya. Dengan demikian, gaya hidup konsumsi menjadi penghasil (produsen), sehingga menciptakan lapangan kerja. Hal-hal tersebut mendesak ditanggapi, sehingga tiada alasan menjadikan ekologi sebagai bagian dari kurikulum atau diintegrasikan dalam mata pelajaran untuk pembelajaran orang muda sebagai generasi penerus masa depan.

Dalam buku Punjuru Abad Baru, 100 Tahun Kongregasi Bruder MTB Berkarya di Indonesia telah mengulas persoalan edukasi ekologi dalam perspektif Ekopedagogi. Edukasi ekologi dimulai sejak dini dengan memperhatikan 3 pilar ini, pendidikan tentang lingkungan, pendidikan di atau dari lingkungan dan pendidikan untuk lingkungan. Dalam menerapkan ketiga pilar ini, pendidikan ekologi mengacu pada pendekatan ekopedagogi. Dengan demikian, sekolah-sekolah, asrama, kelompok binaan Bruder MTB perlu mendapatnya untuk masa depan. Apalagi dalam situasi dan kondisi sekarang ini ibu bumi rumah kita bersama ini sedang sakit-menderita (krisis multidimensi), sehingga sangatlah urgen akan edukasi ekologi dengan model pendekatan ekopedagogi.

JPIC Bruder MTB mencoba membantu edukasi ekologi dalam menanggapi persoalan krisis tersebut. JPIC menyiapkan tiga tempat (Selat Panjang, Kuala Dua dan Merauke) untuk pembelajaran. Pembelajaran yang berbasis lingkungan hidup, kearifan lokal (budaya) untuk menanggapi krisis yang ada. Kita belajar mengolah sampah menjadi pupuk organik, menanam sayuran, buahan, pohon, dan memelihara ikan, ayam, kambing dan sebagainya. Kita belajar membuat Eco Enzyme untuk membantu mengatasi pemanasan global-efek rumah kaca dan segala polusi dari bahan kimia. Kita belajar adat budaya kita dalam membangun relasi harmonis antarmanusia, dengan Tuhan pencipta, dan alam semesta beserta isinya. Kita belajar pro kehidupan bukan kematian, solider, bela kasih, peduli terhadap penderitaan ibu bumi rumah kita bersama. Dalam bidang Ekopastoral, JPIC Bruder MTB (Br. Joni) merespon kebutuhan anak-anak dengan pondok-bevak pintar kegiatan literasi, pembinaan iman, dan latihan keterampilan yang lain. Semuanya itu bermuara pada Gerakan Nurani Ekologi (GNE). Diharapkan dengan GNE dari JPIC Bruder MTB tersebut pada akhirnya untuk membangun gaya hidup cukup-tidak berlebihan, ugahari, bela kasih untuk membangun kasih persaudaraan semesta; gaya konsumsi makanan bukan yang instan melainkan yang alami-natural, organik karena badan-tubuh lebih bersahabat dengan yang organik daripada kimia. Selain itu, GNE mendorong kita belajar ramah terhadap lingkungan, merawat, menjaga, melestarikan dan membangun relasi yang harmonis-seimbang satu dengan yang lain. 

Di usia yang ke-100 tahun Kongregasi Bruder MTB, JPIC mendapat “kado”, yaitu rumah di Selat Panjang menjadi sekretariat JPIC dan sebagai tempat kegiatan edukasi ekologi. Gerakan dan kegiatan edukasi ekologi dapat berjalan bila di antara kita (sekolah, asrama, komunitas dan JPIC) mau bekerja sama, kolaborasi, dan bersinergis secara bertanggung jawab. Kita mendesain model pembelajaran ekologi dengan pendekatan ekopedagogi secara bersama. Walaupun gerakan kita itu kecil nan sederhana, tetapi bila dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas tentu memberi sumbangan berarti dalam meretas krisis multidimensi dan masa depan yang lebih baik. 

*Br. Gerardus Weruin, MTB  –Ketua JPIC-Bruder MTB.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *