Kubur Kosong; Menuju Harapan Baru

Kubur kosong. Dia telah bangkit!
Bapa, Ibu Saudari Saudara yang dikasihi Tuhan Yesus
Sabtu Suci adalah hari sunyi-hening. Hari di mana kita semua menarik napas panjang, langit seolah menahan napas dalam kesunyian-keheningan. Yesus yang adalah Tuhan dan Guru telah wafat dan dimakamkan. Para murid-Nya diam dalam ketakutan. Dalam hati para murid dan kita bertanya: Apakah semua ini berakhir di salib? Tidak! Dalam keheningan ini, harapan sedang bertumbuh. Dalam gelapnya kubur, batu besar penutup kubur, ada cahaya baru sedang dipersiapkan Allah-Tuhan bagi kita. Adalah Kebangkitan – Hidup baru bukanlah pelarian dari suatu realitas, tetapi jawaban Allah atas penderitaan manusia dan kerusakan ciptaan-Nya.
Dalam kitab Kejadian, kita mendengar bahwa Allah menciptakan dunia dan manusia “sungguh amat baik.” Kita manusia diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, Imago Dei untuk menjadi penjaga sesama ciptaan. Akan tetapi, realitas hidup dizaman now ini kita mengalami ada banyak jeritan baik manusia maupun ibu bumi. Jeritan para korban perang dan kekerasan-kejahatan, jeritan dari anak-anak yang kelaparan, jeritan dari petani yang terdampak bencana iklim yang ekstrem dan kehilangan rumahnya karena banjir, longsor dan kebakaran. Jeritan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengalami kekerasan, gaji yang kurang adil bahkan menjadi korban Human Trafficking, narkoba dan sebagainya. Ibu Bumi merintih sakit (polusi atas tanah, air dan udara), maraknya jual-beli tanah, ketidakadilan merajalela, dan perdamaian terasa rapuh. Ternyata ciptaan Tuhan tidak dalam keadaan sungguh amat baik, tetapi penuh dengan jeritan-rintihan penderitaan dalam ketidakadilan dan damai sejahtera.
Kitab Mazmurmengingatkan kita bahwa “Bumi penuh dengan kasih setia Tuhan.” Tetapi kasih itu menuntut keterlibatan kita. Tidak cukup hanya mengagumi ciptaan, kita dipanggil untuk merawat, menjaga dan menghormatinya. Surat Paulus kepada jemaat di Roma 6:3-11 mengajak kita untuk menyadari bahwa: “kita telah dikuburkan bersama dengan Kristus.” Artinya, kita juga harus mati terhadap dosa—termasuk dosa keserakahan, ketidakpedulian, dan ketidakadilan yang merusak tatanan kehidupan di muka bumi.
Injil Lukas 24:1-12 membuka secercah harapan Cahaya baru bagi kita bahwa “Pagi-pagi benar, para perempuan pergi ke kubur, dan mendapati batu telah terguling.” Harapan itu nyata bahwa Tuhan Yesus telah bangkit-hidup dan menang atas maut. Kehidupan menang atas kematian. Kita harus berani menggulingkan batu-batu yang menghalangi untuk mendapatkan secercah harapan baru itu. Kita juga harus bangkit meraih kasih setia Tuhan dan menggapai keadilan dan kedamaian. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ dan Fratelli Tutti mengajak kita untuk kembali pada spiritualitas ekologis dan persaudaraan sejati. Paus menegaskan bahwa “jeritan bumi dan jeritan kaum miskin adalah satu dan sama.” Keadilan sosial dan ekologis tidak bisa dipisahkan. Mari kita ikuti teladan Tuhan kita Yesus Kristus yang mampu menggulingkan batu, sehingga menang atas maut; dari mati menjadi hidup; dari kubur kosong menuju harapan baru-bangkit! Di tahun Yubelium ini sebagai Peziarah Pengharapan, kita tetap berharap dan percaya bahwa mampu menggulingkan batu yang menghalangi kita untuk bangkit!
Mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita turut berkontribusi dalam merusak ciptaan atau justru menjadi penjaganya? Apakah kita peka terhadap jeritan kemanusiaan di sekitar kita? Apakah iman membawa kita untuk bangkit bersama Kristus dan menghadirkan harapan baru bagi dunia? Doa:
Tuhan yang bangkit, di hari yang hening ini, kami merenungkan luka dunia dan tangisan kemanusiaan. Ajarilah kami untuk menjadi pembawa terang di tengah kegelapan, menjadi penjaga ciptaan-Mu, dan pejuang keadilan serta damai. Bangkitkanlah kami bersama-Mu, agar dunia mengalami kebangkitan sejati. Amin.
Semoga ya semoga, Tuhan memberkati, Pace e bene Selamat Paskah!
(*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Sabtu, 19 April 2025).