Lempar Batu
Saudari Saudara yang dikasihi Yesus Kristus
Ada ungkapan mengatakan “lempar batu sembunyi tangan.” Peribahasa ini menggambarkan orang melakukan kesalahan, tetapi tidak mengakuinya; orang yang tidak bertanggung jawab dan menuduh orang lain atas kesalahannya. Mengapa demikian? Alasannya, karena secara psikologi jika mengakui kesalahan di hadapan orang ia merasa cemas, takut dan malu. Orang berpikir bahwa mengakui kesalahan di depan umum berarti menelanjangi diri-memperlihatkan kelemahannya. Orang juga tidak siap menerima diri bahwa ia bersalah dan harus bertanggung jawab atasnya.
Ahli Taurat dan orang Farisi menempatkan perempuan yang kedapatan berzinah di tengah-tengah Yesus dan mencobai – meminta pendapatNya. Yesus berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk dan menulis di tanah. Mereka mendengar perkatakan itu dan mundur secara teratur. Tinggallah Yesus dan perempuan itu, Yesus bertanya kepada perempuan, di manakah mereka, tidak adakah yang menghukum engkau? Perempuan itu menjawab, “Tidak ada, Tuhan.” Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, mulai dari sekarang (Yohanes 8:1-11).
Kisah ini mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa sangat sulit kita mengakui kesalahan diri sendiri apalagi di depan umum. Kecenderungan kita lebih mudah dan gampang menuduh, menyalahkan, dan menjatuhkan orang lain. Lupa bahwa kita mempunyai kerapuhan, kelemahan, kekurangan dan berdosa. Zinah merupakan sebuah contoh aib hidup kita, tetapi aib yang lain seperti ujaran (kata-kata) kasar, makian, kebencian, fitnah, mencelah, menjelekkan, menunjuk, dan menjatuhkan sering kali kita lakukan. Maka tepatlah ungkapan lempar batu sembunyi tangan bagi kita.
Yesus pun tidak menghukum orang yang berdosa. Ia hanya menulis di tanah, sehingga tulisannya cepat hilang-terhapus oleh air dan angin. Yesus tetap ada bersama perempuan yang berzinah, tetapi mereka yang lainnya pergi semua. Berhadapan dengan orang berdosa, Yesus selalu berusaha menerima, mengampuni, sehingga selamat. Dengan demikian, kita orang berdosa ini tidak boleh takut dan malu datang kepada Yesus Kristus.
Kita belajar dari perempuan yang berzinah bahwa kelemahan, kerapuhan, dan kesalahan itu sifat manusia (daging), tetapi manusia yang lemah ini dikuatkan oleh roh. Roh menuntun kita untuk menerima diri, mengakui kesalahan, memperbaiki diri sendiri dan rendah hati. Yesus menghendaki sebuah pertobatan dari kita yang membawa pengampunan dengan berkata, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi, mulai dari sekarang.” Kata-kata ini selalu menyadarkan bahwa mindset kita tentang orang harus berubah bukan dosa yang diperbesarkan, tetapi hal baik yang dilakukan orang itu perlu dipuji, didukung, disemangati, sehingga membuat orang itu lebih percaya diri bahwa ia baik. Usaha seperti ini tidak mudah, yang tidak jarang menjebak kita seperti nila setitik merusak susu sebelanga. Bukan orang itu sendiri yang rusak, tetapi kita juga ikut rusak. Mari dalam Minggu Prapaskah V ini kita berlatih hidup secara positif dalam pikiran, perkataan dan perbuatan serta belajar hidup dalam tuntunan roh. Rohlah yang menyelamatkan kita. Semoga ya semoga…Tuhan memberkati. Pace e Bene! (*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Minggu, 6 April 2025).
