Paskah: Hidup Baru – Budaya Kasih dan Apresiatif
Bapa, Ibu, Saudara, Saudari yang dikasihi Tuhan Yesus
Selamat Paskah… Merayakan Paskah berarti membuang yang lama ganti baru. Artinya cara kita melihat realitas hidup, menjalani hidup sehari-hari, dan mengisi hidup ini penuh makna secara baru. Paskah adalah perayaan kemenangan kasih atas kematian, terang atas kegelapan, dan harapan atas keputusasaan. Injil Yohanes 20:1-9 menceritakan bahwa Maria Magdalena, Petrus, dan murid yang dikasihi menyaksikan kubur kosong-sebuah tanda bahwa Yesus telah bangkit. Namun, lebih dari sekadar keajaiban, kebangkitan Kristus menantang kita untuk hidup secara baru: dalam kasih, kebaikan, dan penghargaan terhadap sesama ciptaan.
Rasul Paulus dalam 1Korintus 5:6b-8 mengajak kita untuk meninggalkan “ragi yang lama“, yaitu cara hidup yang penuh kefasikan dan kejahatan (kekerasan). Kehidupan di zaman modern ini kita sering mengalami budaya kekerasan, perundungan (bullying), dan saling merendahkan, baik di dunia nyata maupun dalam dunia maya (digital). Kejahatan-kekerasan yang kita lakukan berupa kata-kata (verbal) dan fisik, ini merupakan ragi lama yang harus dibuang. Paskah merupakan Kebangkitan Kristus; ada perubahan hidup dari budaya lama kejahatan-kekerasan menjadi budaya kasih-apresiatif, solidaritas, peduli, dan menghormati serta berlaku baik terhadap sesama ciptaan Tuhan baik manusia maupun alam semesta. Yesus memanggil kita untuk hidup dalam semangat budaya kasih dan apresiatif sebagai bagian penting dari merayakan Paskah.
Kisah Para Rasul 10:34a,37-43 ditegaskan bahwa “Allah tidak membedakan orang” dan setiap orang yang percaya kepada-Nya menerima pengampunan dari-Nya. Ini menjadi dasar dari budaya kasih & apresiatif. Karena gaya hidup Yesus berjalan keliling dari desa ke kota sambil berbuat baik dan menyembuhkan orang sakit-dikusai iblis. Merayakan Paskah berarti kita belajar melihat nilai dan martabat dalam setiap pribadi dan ciptaan. Juga kita diminta oleh Yesus agar berbuat baik, membantu yang miskin-sakit (terlebih yang mendapat musibah, yang berkekurangan). Apalagi di zaman now ini ada krisis lingkungan, ekonomi, identitas diri, adat budaya, bermedia sosial dan sebagainya, kita diajak menjadi saksi kebangkitan melalui empati, penghargaan, dan cinta yang nyata. Kita menghadirkan dan menegakan budaya kasih- apresiatif.
Jika kita dibangkitkan bersama dengan Kristus, “Carilah-pikirkanlah perkara yang di atas” (Kolose 3:1-4). Carilah-pikirkan perkara yang di atas, yaitu bekal hidup abadi – nilai-nilai yang kekal seperti kasih, kebenaran, kebaikan, dan damai sejahtera. Kita hidup di zaman teknologi-digital. Teknologi hanyalah sarana menjadi alat bantu untuk mempererat relasi dan memanusiakan, bukan untuk penyebar hoaks, penipuan, judi, pinjam online, game sampai ketagihan, kebencian, atau ajang membandingkan dan pencitraan diri. Teknologi-digital dapat dipakai untuk memperjuangkan nilai-nilai yang kekal serta menyebarkan harapan, menciptakan ruang edukasi, membangun komunitas solidaritas. Kita yang mengatur dan mengontrol teknologi-digital bukan sebaliknya, jika tidak Paskah hanyalah perayaan saja- “kubur kosong” karena Roh Yesus Kristus tidak ada dalam hati kita. Mari kita bertanya pada diri masing-masing:
Sudahkah saya menjadi pembawa kasih dan penghargaan di tengah dunia yang penuh dengan krisis dan mudah saling menjatuhkan? Apakah saya menggunakan teknologi untuk menyebar kasih-terang, damai, kebenaran, kebaikan atau justru melanggengkan-memperkuat kegelapan dan kejahatan?
Kristus sudah bangkit, Alleluya. Mari kita bangkit bersama Kristus, hidup dalam terang kasih, dan memperjuangkan martabat setiap manusia baik dalam dunia nyata maupun digital. Itulah cara kita menjadi saksi Paskah di zaman now. Sebagai Peziarah pengharapan di tahun Yubelium ini kita yakin, percaya dan tetap berharap bahwa Tuhan Yesus Kristus selalu membantu dan menguatkan kita dalam bersaksi, hidup baru dalam semangat budaya kasih & apresiatif. Semoga, ya semoga. Tuhan memberkati. Pace e Bene. Selamat Paskah! (*** Br. Gerardus Weruin, MTB Minggu – 20 April 2025).
