Pendidikan Ekologis dan Ekopedagogi

0

Br. Gerardus Weruin, MTB


Kalau hanya sekadar mentransfer ilmu, sesungguhnya guru sudah “kalah” dengan Google.


Menyongsong  satu abad (1921-2021) kongregasi Bruder MTB berkarya di Borneo, kita berhenti sejenak melihat sepak terjang eksistensi kita sebagai Bruder pendidik yang berjiwa fransiskan. Kehadiran kita para bruder MTB tidak hanya sebagai pendidik -guru, tetapi mempunyai spirit (jiwa-hati) fransiskan. Tulisan ini mengajak kita memberi perhatian pada pendidikan secara ekologis sesuai dengan paradigma Fransiskus tentang ekopedagogi

Pendidikan dan Pendidik

Pendidikan merupakan aset dan investasi masa depan, sehingga menjadi pertaruhan kepentingan. Demi kepentingan itulah kebija­kan dalam memperbaiki pendidikan bukan  pada hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri melainkan kepentingan pemegang kebi­jakan-kekuasaan. Dengan demikian, ganti menteri tentu akan ganti kebijakan. Walaupun gonta ganti menteri pendidikan, kebijakan persoalan dan hakikat pendidikan belum terjawab demi masa depan generasi muda. Hari-hari kita berharap akan ada perubahan dalam pendidikan, tetapi hanyalah harapan dan air mata. Kita malah disuguhkan kecemasan dan tantangan pendidikan, seperti bagaimana mendidik anak di zaman milenial-zaman now, pendidikan menghadapi dunia global dengan ciri  higher order thingking skills (HOTS),dunia literasi, revolusi industri 4.0 dengan segala macam disruptifnya, dan sebagainya. Hal itu, Suyanto dalam memberi usulan dan berharap agar menteri pendidikan yang baru membuat agenda pendidikan yang jelas untuk jangka pendek dan jangka panjang (Kompas, 9 Oktober 2019, hlm. 7). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru perlu membangun tiga pilar pendidikan, yaitu aspek kualitas dan relevansi, daya saing, akses, dan pemerataan pendidikan. Semua pemetaannya harus jelas dengan berorientasi masa depan untuk generasi penerus ber­inovasi di era revolusi industri 4.0; jangan membuat program seolah baru padahal hanya kemasannya yang beda.

Suyanto berharap agar pendidikan di tangan mendikbud yang baru memperhatikan tiga komponen pendidikan: kurikulum, program dan desain pem­belajaran, serta program pengembangan profesi guru berke­lanjutan. Semua komponen itu perlu ada budaya inovasi karena tuntutan zaman yang disruptif. Kunci pendidikan terletak pada guru. Tiga kompenen akan terwujud bila sang guru-pendidik memiliki budaya inovasi karena semua industri-perusahaan mulai melakukan inovasi secara progresif, jika tidak akan kolaps. 

Menjadi guru di zaman milenial mem­punyai tuntutan yang berat. Seolah-olah semua masalah pendidikan ada di tangan guru-pendidik. Padahal, keluarga dan ling­kungan masyarakat mempunyai andil yang sama. Namun demikian, inilah kesem­patan bagi guru-pendidik untuk berefleksi atas eksistensinya dalam dunia pendidikan. Kalau hanya sekadar mentransfer ilmu, sesungguh­nya guru sudah “kalah” dengan Google. Akan tetapi, Google tidak memiliki karakter, kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai humanis dalam mendidik siswa. Apakah guru-pendidik zaman milenial ini masih memiliki empat hal tersebut? 

Bukan hanya guru-pendidik yang dituntut, era milenial ini semua lini kehi­dup­an dituntut untuk berubah dan itu secara disruptif. Mampukah guru-pendidik berdiri sebagai garda terdepan pendidikan? Walaupun teori pendidikan sekarang sudah mutakhir, gagasan Ki Hadjar Dewantara akan identitas guru, “ing ngarso sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” masih sangat dibutuhkan. Sebagai pendidik, guru perlu memperhatikan tiga pusat pendidikan yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebutnya “alam perguruan, alam keluarga, dan alam pergerakan pemuda”. Terminologi “alam” berarti kekuasaan yang akan diperankan guru. Maka, mengurus pendidikan bukan guru seorang melainkan “gotong-royong” seperti yang diucap mendikbud yang baru. Kunci dalam menghadapi tuntutan itu, yakni belajar dan terus belajar (banyak membaca, menulis, berdialog, diskusi, dan sebagainya). Tanpa terus belajar, guru tidak akan melakukan perubahan. Dengan demikian, isu narasi negatif pendidikan tentang intoleransi, diskriminasi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan dalam pendidikan selama ini dapat berubah menjadi narasi yang positif. Sekolah yang menjadi perjumpaan keberagamaan itu hendak­nya menciptakan kenyamanan agar generasi muda lebih mudah berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis, dan kreatif (Henny Supolo Sitepu, Kompas, 1 November 2019 hlm. 6).

Hal lain bahwa banyak tuntutan membuat guru-pendidik pada akhirnya berselisih paham. Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa perselisihan kita bukan dengan orang Inggris, tetapi melawan imperalisme mereka. Imperial menekankan ideologinya, sehingga benar bahwa jika kita hidup dengan ideologi sendiri (big ego) sama halnya jiwa Anda bermusuhan dengan tubuh Anda sendiri. Ali Syari’ati sosiolog revolusioner Irak mengatakan bahwa ideologi merusak sistem, perasaan, way of life, cara pandang, produksi, dan konsumsi yang pada hakikatnnya adalah proses kolonialisasi. Kartono menekankan bahwa menjadi guru itu untuk murid bukan mengabdi kolonial atau kapitalisme dalam pendidikan (Francis Wahono, 2001).

Alangka bahagia menjadi guru untuk murid. Karena bukan sekolah dengan akreditasi A, sekolah unggul, sekolah plus dan segala prestasi yang dibanggkan, tetapi hasil pendidikan hanya menjadi beban dan masalah dalam hidup bersama. Tugas pendidikan dan pendidik bukan membuat manusia muda menjadi hebat dan pintar-pintar menjuarai semua perlombaan melainkan mendidik anak menjadi orang baik dan benar (F. Rahardi, Kompas, 1 November 2019 hlm. 7). Meminjam istilah Driyarkara, memanusiakan manusia muda. Adanya guru diperlukan dalam pendidikan karena membangunkan kesadaran moral, hati yang berbelarasa, dan mampu bekerja sama dalam diri peserta didik. Hal ini tidak tergantikan oleh teknologi yang canggih -seperti Google. Inilah kekhasan dari tugas guru yang menjadikannya profesional dalam pendidikan (Sudiarja, 2014:136).

Pendidikan Ekologis dan Ekopedagogi

Nampaknya persoalan lingkungan hidup belum masuk dalam agenda-program untuk mendikbud yang baru. Padahal Paus Fransiskus dalam Laudato Si sudah mengajak kita untuk menjaga dan merawat Ibu Bumi -rumah kita bersama. Sementara, sinode Amazon menyampaikan hasil penelitian bahwa tingkat kerusakan lingkungan hidup semakin parah, sehingga mencemaskan dan mengancam kehidupan masa depan. Semuanya itu karena cara pandang, produksi, dan konsumsi kita yang tidak adil terhadap lingkungan hidup ini. Kita sebagai bruder pendidik-guru yang berjiwa fransiskan dipanggil untuk membelanya dengan paradigma pendidikan ala Fransiskus.

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungan dan lainnya. Artinya, ekologi sebuah ilmu yang mempelajari interaksi antar makhluk hidup. Di dalam interaksi makhluk hidup ini ada ekosistem. Ekosistem ekologi dimaksudkan bahwa ada relasi-hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan antar makhluk hidup dengan lingkungannya. Hal ini karena setiap makhluk hidup mempunyai perannya masing-masing, sehingga menganut prinsip keseimbangan dan keharmonisan, semua kompenen alam sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Dalam Kidung Saudara Matahari (Gita Sang Surya), Fransiskus mengajak kita untuk menyadari bahwa keberadaan manusia tidak lepas dari alam dan saling membutuhkan karena dari satu tangan Pencipta, sehingga layak disapa sebagai Saudara dan Saudari satu sama lain. Sapaan Saudara dan Saudari karena Fransiskus mengalami kasih dan cinta Allah melalui alam semesta berserta isinya. Maka, pendidikan kita memperhatikan ekologis tersebut.

Pendidikan ekologi berarti studi ilmiah tentang interaksi antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Belajar dari Fran­siskus, kita dapat memberikan per­hatian dalam pendidikan yang bercirikan eko­logis. Bagaimana dalam pendidikan kita menanamkan cinta, kasih, dan persahabatan yang akrab dengan lingkungan hidup? Fransiskus menaruh rasa hormat kepada setiap pribadi ciptaan, karena memiliki integritas dan keutuhan dalam hati yang penuh misteri sebagaimana diungkapkan dalam perancang ilahi. Sikap inilah yang menjadi alasan, kita perlu merancang pendidikan ekologis yang spesifik, eksperiental, dan dalam keke­luargaan-persaudaraan yang universal. Maka dalam pendidikan ekologi, empat aspek yang perlu mendapat perhatian kita sebagai bruder pendidik, yakni siapakah manusia, relasi kita kepada Allah, persahabatan kita dengan sesama, dan relasi kita dengan bumi rumah bersama (Selestina Uduk, 2016).

Di samping pendidikan ekologis, kita juga perlu membicarakan ekopedagogi. Mbula (2015) menyebutkan bahwa tujuan eko­­­pedagogi, yakni mewargabumikan manu­­sia. Artinya, mendorong setiap orang untuk mengintegrasikan keadilan sosial, per­­­damai­an, dan pendidikan lingkungan. Laudato Si menekankan tujuannya agar ter­wujud keselamatan dan keutuhan ciptaan. Pada artikel 209, Luadato Si tertulis  agar orang muda memiliki kepekaan ekologi dan semangat membela dan mencintai lingkungan. Berkaca pada keintiman relasi Fransiskus dengan alam ciptaan menjadi kenyataan eksistensial yang mempengaruhi Fransiskus menempuh cara “berada bersama” dengan “yang lain” dan bukan berada di atas “yang lain”.  Fransiskus memandang alam ciptaan ini bukan “hak milik” melainkan hanya “hak pakai” (William Cang, 1989). Dengan demikian, ekopedagogi berupaya mengubah perilaku dan sikap serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap akan nilai-nilai lingkungan hidup. Eko­pedagogi dapat membantu manusia mema­hami hubungannya dengan alam semesta.

Ekopedagogi melihat pendidikan bukan untuk mencapai tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan bersama. Hal ini sesuai dengan seruan Paus Fransiskus akan pertobatan ekologis. Senada dengan itu, Dohut (2015) memandang bahwa ekopedagogi menjadi cara untuk melatih peserta didik bertanggung jawab dan respek (belarasa) terhadap alam semesta. Manusia ekologis mendekati alam bukan mengeksploitasinya melainkan merawat, itulah yang menjadi sasaran ekopedagogi.

Dari pendidikan ekologis dan eko­pedagogi, kita berharap baik guru-pendidik maupun peserta didik memiliki nilai-nilai seperti yang diajarkan oleh Fransiskus. Nilai-nilai tersebut seperti menghormati perbedaan (pluralitas), kedinaan (minor), pembawa damai (non violence), mengutamakan dialog. Ber­kaitan dengan ekopedagogi, peserta didik hendaknya dibiasakan dengan nilai-nilai seperti:  kekudusan-sacrum, kebaikan-bonum, kebenaran-verum, keadilan-iustum, kejujuran-honestum, kemanusiaan-humanum, keindahan-pulchrum, kesatuan, keutuhan-unum, cemerlang, cayaha, kecerdasan-clarum, damai-pacem (Seletina Uduk, 2016).

Gagasan tentang pendidikan ekologis dan ekopedagogi bukan hal baru. Isu ini mendesak untuk kita pikirkan bersama dalam menata karya pendidikan kita yang berjiwa Fransiskan. Bahkan kita tidak berhenti pada pendidikan ekologis, ekopedagogi, tetapi sampai pada ekolinguistik untuk membangun bahasa peradaban baru dalam berelasi dengan lingkungan hidup. Semoga kita sebagai bruder guru-pendidik yang berjiwa Fransiskus dapat mewujudkan tantangan tersebut. •


*Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Pratikami Edisi XL tahun 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *