Saudari-Saudara yang dikasihi Yesus Kristus,

Yesus tahu dan kenal betul watak anak-anak dunia. Mereka mudah terpecah belah oleh perbedaan, kebencian, egois, dan kecenderungan (hasrat, pikiran, hawa nafsu). Bahkan kata-kata mereka seperti pedang bermata dua dan sangat menyakitkan, sehingga dendam sampai mati. Karena itu, Yesus menyerahkan kita semua dalam pelukan kasih Bapa-Nya, agar kita semua bersatu. Kesatuan bukan berarti seragam melainkan kebersamaan dalam cinta kasih yang saling mendengarkan, menghargai, menghormati, dan membuka diri. Di zaman now ini, persoalan tersebut sangat sulit diwujudkan-dipraktikan. Walaupun sulit, Yesus telah mendoakan kita agar menjadi satu anak-anak Allah-Bapa.

Yohanes 17: 20-26 mengabadikan doa Yesus yang paling intim dan mendalam. Yesus berdoa tidak hanya bagi para rasul yang hadir di depan-Nya, tetapi untuk orang-orang yang percaya kepadaKu karena pemberitaan mereka supaya mereka semua menjadi satu seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku dalam Engkau -mereka di dalam Kita (Yoh 17:20-21). Demikian juga dalam Kisah Para Rasul 7: 55-60 mengisahkan Santo Stefanus berdoa, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku… Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Yesus dan Santo Stefanus berdoa semoga kita semua bersatu.

Bacaan dalam Minggu Paskah VII ini berbicara tentang doa-komunikasi. Gereja memperingati minggu ini sebagai Hari Komunikasi Sedunia. Komunikasi bukan hal teknis atau sekadar tukar informasi melainkan ungkapan terdalam dari iman yang hidup. Komunikasi dimaksudkan agar kita bersatu, dekat satu dengan yang lain. Mendiang Paus Fransiskus mengajak kita merenung kembali peran komunikasi dalam membangun persaudaraan, menegakkan kebenaran dan menyembuhkan luka dunia. Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan secara mendalam sebagai dasar komunikasi sejati. Tanpa mendengarkan dengan hati, kata-kata menjadi hambar, hampa, dan kosong, sebaliknya mendengarkan dengan hati menghasilkan kesatuan – kesembuhan hati kita. Dalam komunikasi, kita juga harus hati-hati dan waspada dengan ungkapan ini “Di luar bagai madu, di dalam bagai empedu.”

Komunikasi kita diharapkan sampai menyerahkan diri pada kasih Allah yang tak terbatas. Karena dunia saat ini merespons komunikasi dengan cara kekerasan, balas dendam dianggap wajar saja, tetapi suara Stefanus melampaui akal sehat kita. Paus Fransiskus selalu mengingatkan kita bahwa kata-kata bisa menjadi senjata yang memecah atau minyak yang menyembuhkan. Di era digital, kita menggunakan media sosial secara cepat dan tanpa kontrol mudah sekali menyerang, menghakimi, dan menyebarkan fitnah-hoaks. Media sosial hanyalah alat membantu kita berkomunikasi bukan kita diperalat oleh media sosial. Santo Stefanus telah memberi teladan kepada kita bukan suara kebencian dan dendam melainkan seruan kasih dan pengampunan dengan mendoakannya.

Di Hari Komunikasi Sosial ini, mari kita belajar dari Santo Stefanus yang mendoakan mereka karena mereka tidak tahu. Kita belajar mendengarkan lebih dari berbicara. Dalam komunikasi, kita menyampaikan pesan secara jujur, sopan santun, lembut, yang membuat hati aman dan tenang. Kita belajar dari sang komunikator Roh Kudus, yang dengan hikmat, lembut, benar dan adil menyampaikan pesan bukan dengan emosi, nafsu, atau keinginan menguasai. Kita menggunakan media sosial untuk berevangelisasi, membangun harapan, menyampaikan kasih dan sukacita. Mari kita jadikan hari komunikasi sebagai sarana membangun persekutuan, mempererat relasi persaudaraan; pesan-pesan yang membangun kesatuan, menyembuhkan luka, dan mewartakan pengharapan. Semoga, ya semoga… Tuhan memberkati. Pace e bene. (*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Minggu, 1 Juni 2025).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *