Yesus di atas kayu salib.

Saudari, Saudara yang dikasihi Yesus Kristus

Dalam kisah sengsara di Jumat Agung, ada kata-kata Yesus yang perlu dicermati dan dimaknai secara kontekstual sesuai dengan zaman now, “Aku haus dan Sudah selesai.” Menarik bahwa Yesus pernah menyatakan diriNya sebagai air hidup (Yoh. 4:10-15; 7:37-39). Namun, ketika tergantung di kayu salib, Yesus berseru, “Aku haus.” Padahal Ia adalah sumber air hidup dan tentunya dapat memuaskan dahaga-Nya secara ajaib. 

Timbul pertanyaan bagi kita, apakah Yesus sungguh-sungguh haus ataukah ada maksud lain di balik seruan itu?

Seruan Yesus bahwa Aku haus itu dapat kita memaknai dan menyelami maksudnya dari perspektif Yesus dan kita sekarang. Dari perspektif Yesus, Ia sungguh haus baik secara fisik maupun secara batin. Secara fisik dapat dimengerti karena sejak malam sampai sore selama proses penghukuman, Yesus mengalami dehidrasi karena ia telah mengosongkan diri dan mempersembahan diri secara total kepada Bapa. Secara batin, Ia haus akan kasih dan Roh Bapa karena merasa ditinggalkan sendirian, sehingga Ia berseru, “Eloi, Eloi, lama sabachthani” atau “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”(Matius 27:46; Markus 15:34). Konteks kalimat ini mengungkapkan bahwa Yesus sebagai manusia dan sebagai Allah, merasakan pemisahan dari Bapa ketika Ia menanggung hukuman dosa dunia. Ini bukan berarti Allah meninggalkan Yesus, melainkan Yesus sendiri, dalam kapasitas-Nya sebagai manusia, merasakan pemisahan spiritual yang sangat mendalam. Maka dari ungkapan itu memberi pemahaman bagi kita bahwa Aku haus lebih menekankan pada kekosongan jiwa-raga dalam mempersembahkan diri yang total pada tugas perutusan-misi dari Bapa. Dalam tubuh yang kosong, Yesus merasa haus yang mendalam akan air hidup, yaitu Roh kasih yang mengalir dari Bapa kepada-Nya. Dengan demikian, Yesus benar-benar haus karena telah mengosongkan diri dan kini hanya minum dari kasih Bapa. Algojo menanggapi Aku haus dengan memberi-Nya anggur masam. Setelah meneguknya, Yesus mengatakan “Sudah selesai”! Dan Ia menghembuskan nafas terakhir- menundukkan kepala dan menyerahkan nyawa-Nya. Ia menyerahkan Roh, kasih karunia yang menyatukan Bapa dan Putera (milik bersama-bersatu). Sudah selesai- berarti Yesus kembali bersatu dengan Bapa-Nya. Pengalaman sebagai manusia sudah berakhir dan beralih ke dalam ke-Allahan-Nya.

Konteks zaman now, Aku haus perlu kita refleksikan lagi; apakah mengarah pada hal yang positif atau negatif? Secara positif manusia zaman now ini masih banyak yang merasa haus. Kita haus akan perhatian, budaya kasih, saling membantu, tolong-menolong, kepedulian dan solidaritas satu sama lain, sehingga menjadi “saudara” satu keluarga-memanusiakan setiap pribadi. Akan tetapi, aku haus juga dipandang secara negatif di zaman now, yakni haus akan kekayaan dunia (uang), jabatan, kedudukan, status, pengakui diri, pencitraan diri, dan sebagainya. Kehausan ini tidak pernah kita merasa puas, sehingga ketika tidak terpenuhi timbulkan ketidakadilan, kejahatan-perampasan, kekerasan, manipulasi dan tidak ada damai sejahtera lagi. Zaman now ini orang tidak lagi bertanya besok saya makan apa, tetapi saya makan siapa? Maka, realitas hidup sehari-hari hidup kita diwarnai oleh kejahatan-kekerasan, persaingan, perampasan dan ego-untuk diri sendiri. Orang berebut atau berlomba-lomba menguasai sumber daya alam (tanah, air, dan udara), menjarah dan mencemar ibu bumi rumah kita bersama (polusi), tetapi juga memperjualbelikan manusia (Human Trafficking), memanipulasi hak dan martabat orang kecil-miskin, merusak aklak-moral manusia dengan narkoba, judi/judi-online, pinjaman online (teknologi-digital) dan sebagainya.

Frasa Aku haus menyadarkan dan mengajak kita untuk berlatih mengosongkan diri- menguasai diri, mengendalikan diri, dan mempersembahkan hidup secara total kepada kehendak Bapa. Kita belajar dari Yesus dengan berkata Sudah selesai berarti menyerahkan dan menyatuhkan semua kehendak-keinginan dan kebebasan kita dalam kasih Bapa. Dalam kekosongan diri dan persembahan yang total itu, kita bergumul dengan sengsara dan penderitaan (kesulitan, masalah, dan ketidakberdayaan realitas harian kita dengan sikap menerima dengan tenang, diam membiarkan dan menyatukannya dengan sengsara dan penderitaan Yesus). Pantang menyalahkan orang lain, menuduh, memfitnah, memanipulasi dengan kata-kata pembelaan, apalagi mengeluh! Inilah pengalaman kekosongan manusia, yang dialami-bergulat sendiri-sendiri, sehingga dihadapi dengan sikap tenang, diam dan mengikuti saja. Yesus saja mau menderita-sengsara karena dosa kita manusia, mengapa kita menolak menderita-sengsara? Siapa yang bertahan, setia, dan sabar menanggungnya, kelak akan mengatakan juga Sudah selesai.  Karena dengan cara demikian, kita menyatukan diri dalam kasih Bapa yang sempurna, sehingga kita mengalami semangat dan bangkit menjadi baru dan selalu diperbarui. Jadi dari hari ke hari, kita selalu melihat sengsara dan penderitaan dalam hidup ini secara baru dan penuh rasa syukur karena berjalan bersama Yesus dan Bapa. 

Apakah kita mau berlatih mengosongkan diri, rela berkorban-menderita dan mempersembahkan diri secara total pada Kehendak Bapa? 

Semoga, ya semoga… Amin. Tuhan memberkati. Pace e bene (*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Jumat, 18 April 2025).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *