Pengorbanan dan Pengampunan

Yesus Masuk Kota Jerusalem (1320) karya Pietro Lorenzetti. Keledai sebagai simbol kesederhanaan, perdamaian, dan pengorbanan.
Saudari Saudara yang dikasihi Yesus Kristus
Kita membuka Pekan Suci dengan merayakan Minggu Palma. Jika kita mendengarkan Injil Lukas 23:1- 49 peristiwa-kejadian yang digambaran di dalamnya terasa ada kontras dan penuh makna. Yesus memasuki kota Yerusalem tidak dengan kemegahan, tetapi dengan menunggang seekor keledai simbol kerendahan hati. Keledai melambangkan kesederhanaan, kedamaian, dan kerelaan (pengorbanan) untuk merendahkan diri. Hal ini mau menggambarkan siapakah Yesus sebenarnya: Dia itu Raja yang melayani. Untuk menyambutNya, mereka membentangkan kain dan melambaikan daun Palma dengan bersorak sorai.
Ketika Yesus masuk Yerusalem, orang banyak bersorak: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! Hosana Putra Daud!” Mereka menyambut Yesus sebagai Mesias yang diharapkan. Akan tetapi, orang banyak itu tidak sadar bahwa Mesias yang datang bukan untuk mengangkat pedang, melainkan mau memikul salib. Apa artinya sorakan hosana, lalu berubah menjadi salibkan Dia? Bukankah kita pun demikian, seperti Petrus menyangkal dan pergi meninggalkan Yesus.
“Salibkan Dia!” Baru saja terdengar suara lantang memuji Yesus sebagai Raja, seketika itu berubah menjadi sorakan untuk menghukum? Inilah realita hati kita manusia. Kita mudah terombang-ambing oleh harapan pribadi, ketakutan, dan tekanan sosial. Ketika Yesus tidak memenuhi ekspektasi kita sebagai pembebas politik, kita kecewa dan berbalik sikap untuk menghukum, Salibkan Dia! Kita hanya mau yang senang-senang, tetapi ketika ditimpa kesusahan, penderitaan justru kita berbalik menghukum, menghakim, dan menjauhi sesama.
Yesus mengetahui semua kerapuhan dan kelemahan kita. Oleh karena itu, pada saat menjelang penderitaan-Nya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya:”Berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.”Yesus mengingatkan kita bahwa pencobaan bukan hanya soal dosa yang besar, melainkan tentang iman yang goyah, hati yang mudah terombang-ambing, dan keengganan untuk memikul salib bersama Dia. Namun, di tengah pengkhianatan, tuduhan palsu, siksaan, dan penyaliban, Yesus tetap menunjukkan pengampunan yang radikal. Di kayu salib, Yesus berkata:“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Inilah puncak dari kasih-Nya: pengorbanan dan pengampunan di tengah penderitaan kita manusia. Pengorbanan Yesus tidak hanya fisik, tetapi batiniah; Dia menanggung semua dosa dan tetap memilih mengasihi kita agar selamat.
Marilah kita berefleksi diri:
Apakah saya berseru “Hosana” hanya saat segalanya baik, tetapi berbalik saat doaku tidak dijawab sesuai dengan harapan? Apakah saya berdoa sungguh-sungguh agar tidak jatuh dalam pencobaan iman dan kesetiaan? Apakah saya bersedia mengampuni orang yang menyakiti kita, sebagaimana Kristus telah mengampuni kita? Apakah saya siap merendahkan diri seperti Yesus, hidup dalam kesederhanaan, merendahkan diri, dan ketaatan serta mau berkorban untuk sesama yang menderita?
Doa … Tuhan Yesus, Engkau Raja yang datang dalam kerendahan, bukan untuk ditinggikan, melainkan mengorbankan diri-Mu bagi kami. Ampuni kami yang sering bersorak memuji, tetapi tidak setia saat mengalami penderitaan. Ajari kami untuk berjaga dan berdoa, agar tidak jatuh dalam pencobaan. Bentuklah hati kami agar seperti hati-Mu: rendah hati, penuh kasih, rela berkorban, dan siap mengampuni. Amin. Semoga ya semoga. Tuhan memberkati, Pace e Bene… Selamat merayakan Minggu Palma.
(*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Minggu, 13 April 2025).