Salib Kristus dan Luka Bumi

Bapa, Ibu, Saudara Saudari yang dikasihi Yesus Kristus.
Kayu salib berdiri membisu, diam seribu bahasa, kita hanya hening memandang Tuhan Yesus yang bergantung. Dalam keheningan Jumat Agung ini, kita menyaksikan sengsara dan wafat Tuhan kita, Yesus Kristus. Wajah berlumuran darah, tangan dan kaki terpaku kaku pada kayu, kepala dimahkotai duri, lambung ditikam keluarlah darah dan air, Tuhan Yesus menerima dan merasakan semuanya itu tanpa melawan-membalasnya. Semua sengsara dan derita ditutup dengan berkata, “Sudah selesai.” Jumat Agung ini membawa kita pada kedalaman misteri Sang Hamba Allah yang menderita (Yes. 52:13–53:12), Kristus Imam Besar yang setia dan taat (Ibr. 4:14–16; 5:7–9), dan pengorbanan-Nya yang penuh kasih di kayu salib (Yoh. 18–19).
Nubuat Yesaya 52:13-53:12 tentang Hamba Tuhan yang menderita: “Ia ditikam karena kedurhakaan kita, dilukai karena kejahatan kita.” Yesus, yang tidak berdosa, mengambil tempat kita, menanggung hukuman yang seharusnya kita terima. Penderitaan-Nya mengantar Dia menuju jalan kemuliaan, sebagaimana dikatakan, “Ia akan ditinggikan, disanjung, dan dimuliakan.” Sosok yang “ditikam oleh karena pemberontakan kita, diremukkan oleh karena kejahatan kita dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh, ganjaran yang mendatangkan keselamatan.” Sosok-Nya tidak hanya mewakili penderitaan manusia saja, tetapi juga seluruh ciptaan yang merintih-menjerit menantikan penebusan. Salib dan luka Kristus adalah salib dan luka bumi. Kita tidak bisa memisahkan penderitaan Kristus dari penderitaan bumi yang terluka oleh dosa dan kejahatan manusia.
Mazmur 31:13 memperdengarkan jeritan jiwa yang merasa ditinggalkan, “Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati, namun tetap menyerahkan diri kepada Tuhan ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.” Teks ini merupakan ungkapan iman di tengah kerapuhan. Demikian juga, alam ciptaan yang dirusak oleh keserakahan manusia seolah menjerit dalam keheningan, menanti pemulihan. Yesus Kristus, meski Anak Allah, Ia merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:8). Surat kepada Filipi ini mengingatkan kita bahwa Yesus menjadi sumber keselamatan bagi semua yang taat kepada-Nya. Kita dipanggilan untuk mengikuti jejak ketaatan itu—bukan hanya dalam relasi dengan sesama manusia, tetapi juga dengan segenap ciptaan Tuhan.
Kita melihat cinta Yesus kepada manusia tidak tergoyahkan. Yesus menyerahkan diri, bukan hanya demi manusia, tetapi demi seluruh dunia (Yoh. 3:16 menggunakan istilah dunia-kosmos, artinya seluruh alam). Di kayu salib, Kristus menanggung dosa dunia—termasuk dosa ekologis: perusakan alam, pencemaran lingkungan, pembiaran terhadap krisis iklim, dan ketidakpedulian kita terhadap ibu bumi, rumah kita bersama. Apa arti salib Kristus dan luka bumi bagi kita? Yesus mati bukan karena paksaan, tetapi karena cintaNya kepada kita dan bumi. Dalam keheningan Jumat Agung ini, kita diajak memandang salib, bukan hanya sebagai simbol penderitaan, tetapi sebagai bukti kasih yang sejati. Bagaimana kita menjawab kasih itu? Dengan pertobatan, pengampunan kepada sesama, atau ketaatan dalam hidup sehari-hari serta menjaga dan melestarikan ibu bumi. Salib mengajak kita untuk hidup bagi Dia yang telah mati bagi kita. Selain itu, undangan untuk pertobatan ekologis. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menekankan bahwa krisis ekologi adalah juga krisis spiritual. Pertobatan ekologis berarti mengakui bahwa kita telah melukai bumi, dan melukai Kristus yang hadir dalam setiap makhluk ciptaan-Nya. Kita diajak untuk memandang salib bukan hanya sebagai simbol penderitaan, tetapi juga sebagai tanda pemulihan. Dari sisi-Nya yang tertikam, mengalir air kehidupan. Seperti darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya (Yoh. 19:34), kiranya kita pun dimurnikan untuk hidup baru—yang lebih adil, lebih peduli, dan lebih berbelas kasih kepada seluruh ciptaan. Doa:
Ya Yesus, Engkau menanggung luka-luka pada tubuhMu dan beban manusia, termasuk luka-luka ibu bumi yang kami rusak. Ampunilah kami atas kelalaian dan keserakahan kami. Bangkitkanlah dalam hati kami semangat pertobatan ekologis.Ajarilah kami untuk merawat bumi seperti Engkau merawat jiwa-jiwa. Jadikan hidup kami persembahan kasih yang menghidupkan. Amin.
Semoga ya semoga, Tuhan memberkati Pace e bene
(*** Br. Gerardus Weruin, MTB – Jumat 18 April 2025).