Harus diakui bahwa pendidikan formal kita masih gagal menanamkan nilai menjaga dan merawat lingkungan hidup. Pendidik di sekolah-sekolah belum mampu membiasakan peserta didik kita bersikap konservasi atas alam semesta. Kegagalan dan ketidakmampuan ini tidak saja menjadi tanggung jawab para pendidik di sekolah, tetapi juga orang tua dan masyarakat di mana peserta didik berdomisili. Dalam hal ini bagaimana peserta didik (generasi masa depan) dibangunkan kesadarannya akan kepedulian, solidaritas, dan belas kasih atas Ibu Bumi rumah kita bersama yang kian hari kian hancur, rusak, dan sebagian spesies mulai punah. Selain itu, bumi ini pun telah mengalami pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrem yang tak lain dipicu salah satunya dari sampah (organik dan anorganik) yang terus meningkat dan pohon-pohon semakin berkurang. Urgen bagi para pendidik baik di sekolah, rumah-keluarga, maupun di masyarakat untuk mencari solusi atas kerusakan alam ini.

Ekopedagogi hendaknya dimulai sejak dini (play group –TK). Sementara  di SD, SMP, SMA, dan PT ekopedagogi segera dijadikan kurikulum. Tidak cukup pendidikan ekologi hanya menjadi muatan lokal atau kegiatan sesaat saja. Sangat dimungkinkan ekopedagogi dijadikan kurikulum pembelajaran bagi peserta didik. Ataupun setidak-tidaknya ekopedagogi diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Hal ini penting karena Ibu Bumi rumah kita bersama ini semakin hari semakin sakit-menderita. Setiap hari manusia bereksploitasi atas bumi tiada henti; limbah sampah baik organik, anorganik, dan kimia terus bertambah, pohon-pohon semakin berkurang karena deforestasi dan perburuan hewan, sehingga mulai langkah dan punah. Paradigma antroposentris ini mendatang multidimensi krisis bagi kehidupan. Cara pandang ini segera diubah ke arah biosentris yang pro life untuk membangun relasi yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidup. Paradigma biosentris mengedepankan cinta akan kehidupan, sehingga ekopedagogi menjadi urgen di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat.

Salah satu ciri ekopedagogi di lingkungan sekolah, yakni bersih (bebas sampah) dan hijau (tanaman: bunga-bunga, sayuran, dan buah-buahan). Persoalan bersih dan hijau mudah-mudah sulit. Mudah bila  stakeholder di sekolah sadar dan mau berkomitmen beraksi-action, sebaliknya sulit karena kurang sadar dan tidak peduli pada krisis lingkungan hidup ini. Pihak sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua siswa dan pemangku kekuasaan dalam masyarakat. Persoalan krisis lingkungan hidup merupakan persoalan bersama, sehingga mencari solusi dan tanggung jawab secara bersama pula.

Suster Eligia Smalun, SFIC Kepala SD Swasta Erna Kayu Tunu, Sanggau menuturkan bahwa ketika pertama datang di SD tersebut melihat banyak sampah dan lahan tidur – gersang. Suster prihatin melihat lingkungan sekolah demikian, lalu mengajak para guru dan orang tua siswa mencari solusi atas masalah tersebut. Mereka sepakat dan berkomitmen menjaga lingkungan dengan cara sederhana bahwa anak-anak tidak lagi jajan di sekolah (kantin ditutup), orang tua menyiapkan makan-minum untuk anaknya. Masalah sampah mulai teratasi. Gerakan berikutnya menanam bunga-bunga di halaman sekolah baik di taman maupun dalam pot. Kemudian lahan tidur mereka mulai menanam sayuran, bumbu dapur, dan buah-buahan. Selain itu, mereka juga memelihara ikan Lele dalam bak yang terbuat dari terpal. Dari gerakan itu kini sekolah terlihat bersih dan hijau, lebih dari itu hasilnya dapat dikonsumsi bersama yang lebih sehat dan bergizi karena organik.

Sebagai Kepala Sekolah, Sr. Eligia, SFIC masih terus mencari jalan untuk membekali para guru dan anak didiknya akan pengetahuan dan kesadaran untuk merawat dan menjaga  lingkungan hidup. Sabtu, 6 Agustus 2022 para guru dan siswa mengikuti animasi ekologi dan latihan mengolah sampah organik menjadi Eco Enzyme. Suster berharap dengan kegiatan ini para guru dan siswa semakin sadar akan krisis ekologi saat ini dan semakin peduli, cinta dan sayang akan Ibu Bumi rumah kita bersama. Bila Ibu Bumi sakit-menderita kita juga karena kita bagian integral dari bumi. Menjaga dan merawat Ibu Bumi seperti kita merawat dan menjaga diri kita sendiri, badan kita dari tanah, air dan udara. “Cintailah Ibu Bumi seperti mencintai diri sendiri.***(Br. Gerardus Weruin, MTB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *