Persepsi Masyarakat Adat dan Kapitalis terhadap Alam

0

Perkebunan Sawit (C) ISTIMEWA

Bumi menyediakan hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk orang-orang yang serakah (Mahatma Gandhi).

Manusia terus bertambah, tetapi bumi (tanah, air, dan udara) tidak. Kebutuhan manusia kian meningkat sementara sumber daya alam semakin berkurang. Ada benarnya kata Mahatma Gandhi. Bila manusia tidak mengendalikan kebutuhannya, sumber daya alam di bumi ini tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Inilah bedanya, persepsi masyarakat adat dan kapitalis terhadap kebutuhan dan sumber daya alam yang tersedia di bumi. Masyarakat adat memandang alam sebagai bagian penting yang menyatu dengan hidupnya, sehingga perlu dijaga dan dirawat, diperlakukan secara hormat dan bernilai spiritual (rohani). Sementara kapitalis melihat alam sebagai sumber kekayaan, sehingga dieksploitasi untuk mendapat keuntungan yang banyak. Perbedaan persepsi tersebut mengakibatkan krisis lingkungan hidup yang mendera kita sekarang ini.

Fenomena pandemi Covid-19 mulai menurun – berkurang, tetapi kita perlu serius berpikir atas krisis lingkungan hidup bahkan multidimensi krisis. Paradigma, sikap dan perilaku manusia masih kurang menghormati, menghargai, peduli pada alam semesta beserta isinya dan memperlakukannya secara tidak bertanggung jawab. Ulah manusia tersebut menimbulkan masalah seperti banjir dan erosi akibat deforestation (penggundulan hutan), krisis energi, polusi atas tanah, air, dan udara yang mendatangkan penyakit. Di samping itu, masalah global warming (pemanasan global) berdampak pada anomali iklim dan panas bumi yang ekstrim. Perilaku manusia yang berlebihan mengeksploitasi alam dan landskap pembangunan tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis merupakan ancaman pemanfaatan lahan secara berkelanjutan. Persoalan krisis lingkungan hidup dan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa perilaku manusia telah kehilangan kepedulian akan lingkungan hidup, menurunnya relasi harmonis antara manusia dan lingkungan hidup, manusia gelap melihat kesakralan-spritual (rohani) dari alam, sehingga perlu dicari solusi agar dapat menyembuhkan dan memulihkan ibu bumi demi keberlangsungan hidup kini dan mendatang.

Kalimantan sebagai pulau terbesar dan memiliki hutan tropis menjadi penjaga ekosistem bumi dan paru-paru di kawasan Indonesia, Asia, bahkan dunia. Pohon-pohon yang melimpah di hutan dan emas di sungai kini terancam di ambang kepunahan akibat eksploitasi pemegang konsesi hutan dan penambang. Hal ini berdampak pada deforestasi dan menurunnya jumlah spesies hutan dan sungai, serta kualitas air yang buruk. Potret perilaku masyarakat industri hutan dan tambang ini bertolak belakang dengan perilaku ekologis masyarakat adat (Dayak) yang tinggal dan hidup selama berabad-abad di sekitar hutan dan sungai. Masyarakat lokal memiliki cara tersendiri dalam memelihara dan menjaga hutan, tanah, sungai, binatang, dan sumber daya alam lainnya. Masyarakat mempunyai nilai kearifan lokal yang membangun perilaku dalam menjaga dan merawat lingkungan hidup. Leluhur telah mewariskan nilai-nilai rohani dan etika hidup bagaimana memperlakukan alam semesta dan berelasi dengannya. Relasi manusia dengan hutan, tanah, sungai pada masyarakat adat merupakan suatu jalinan yang menyatu dan utuh.

Drs. Stepanus Panus, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Singkawang

Dalam berelasi dengan alam, menurut Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Singkawang, Drs. Stepanus Panus mengatakan bahwa setiap orang Dayak pada dasarnya taat dan patuh kepada adat. Setiap kali melangkah dan melakukan, kami selalu ingat akan adat dan budaya. Sejak zaman dahulu leluhur kami sudah terbiasa hidup dengan alam. Oleh karena itu, kami menyadari bahwa alam itu sungguh sangat penting, sehingga perlu dijaga dan dirawat ekosistem yang ada di dalamnya. Untuk menjaga relasi ini, DAD menjadi garda terdepan.

Relasi manusia dengan alam bukan hanya berfungsi sosial melainkan menyatu, sehingga dikatakan alam itu sakral. Dalam hal ini ada kebiasaan orang Dayak ketika hendak melakukan sesuatu dengan alam dimulai dengan ritual adat. Artinya kami berelasi-berkontak dengan pemilik alam, yang disebut “Jubata” (Tuhan) untuk mendapat petunjuk dan direstui atau tidak. Misalnya ketika membuka ladang, kami pergi membawa batu asa ke suatu tempat. Selang dua atau tiga hari, kami akan mendengar tanda-tanda kicauan burung, apakah boleh atau tidak? Kalau boleh-diizinkan, kami mulai membuka lahan itu karena ada keyakinan tidak ada yang akan merusak ekosistemnya. Jika tidak direstui, kami akan membatalkannya. Berkaitan dengan tempat sakral itu tergantung di daerah masing-masing. Ketua DAD menegaskan jika itu tempat sakral biasanya dibuat ritual berupa tolak bala, di Singkawang itu namanya “besam besam.” Kami membuat ritual bersama-sama di kampung itu, setelah ritual dibuat masyarakat tidak boleh keluar lagi dari kampung selama sehari-semalam, sehingga dengan begitu kampung tersebut dianggap bersih dari macam-macam gangguan atau untuk mengusir roh jahat.

Rumah Betang (rumah adat Dayak Kota Singkawang)

Persepsi kami Dayak merawat dan menjaga alam itu penting karena ia bagian dari hidup. Kami sangat anti mereka yang merusak alam terutama di sekitar tempat tinggal masyarakat. Masyarakat Dayak mengikat dirinya dengan adat, sehingga selalu menjaga lingkungannya dan tetap bersahabat dengannya. Berkaitan dengan membuka lahan (ladang), kami sangat terikat dengan adat-budaya. Dalam membuka  ladang, kami sangat berhati-hati, sehingga tidak menimbulkan kebakaran. Masyarakat adat tidak berdaya terkait dengan pembukaan lahan berskala besar dan pertambangan baik legal maupun ilegal serta perkebunan. Berhadapan dengan big power, masyarakat adat berharap pemerintah baik daerah maupun pusat dapat membantunya. Masyarakat menolak bila membuka lahan yang luas, pertambangan, perkebunan hanya untuk kepentingan-keuntungan pribadi atau golongan.

Dewasa ini lahan menjadi konflik horizontal-veritakal. Menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat adat tetap mempertahankan, menjaga dan memelihara, tetapi kalah dengan big power (kapitalis). Apalagi di zaman globalisasi ini usaha mempertahankan itu diakhiri dengan kekerasan. Perkebunan, perusahaan, pertambang boleh masuk menggarap lahan asalkan sesuai dengan prosedur dan tidak merusak alam, ungkap ketua DAD. Usaha tersebut untuk kepentingan dan keuntungan (kesejahteraan dan kemakmuran) bersama tentu masyarakat adat pasti menerima, tetapi bila untuk keuntungan pribadi jelas kami menolaknya. Masyarakat adat tetap menolak kegiatan yang sifatnya merusak alam, kami berprinsip bahwa siapa saja boleh membuka usaha di lahan yang ada, tetapi janganlah merusak alam, tegas ketua DAD.

Untuk ke depan ketua DAD memberi fokus perhatian pada sumber daya manusia (SDM) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Untuk bidang ekonomi, ketua DAD mendorong agar tercipta ekonomi kreatif yang berciri ekonomi ekologis. Di samping itu, ketua DAD tetap berkewajiban melindungi-mengawal masyarakat kampung dalam berladang karena itu merupakan warisan nenek moyang dahulu. Pengaruh arus globalisasi dan peran big power, tidak terelakkan, sehingga ketua DAD tetap bekerja sama dengan masyarakat setempat, berkolaborasi dengan pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat yang masih berladang. Ketua DAD juga terus berpikir dan berkoordinasi untuk pendidikan generasi muda dalam bidang budaya-kearifan lokal dan lingkungan hidup (alam) agar tetap berkelanjutan.

Senada dengan itu, Bapak Yanto di Desa Pengadang Kec. Sekayam Kab. Sanggau -Kalbar yang diwawancarai oleh Gordianus G, S. Ag. mengatakan demikian juga. Bahwa leluhur masyarakat Dayak memiliki kearifan lokal dalam berelasi dengan alam. Tradisi-budaya tersebut diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Bapak Yanto (baju merah) dan Gordianus

Dalam berelasi dengan alam semesta (hutan, tanah, sungai dan binatang), kami memandang alam merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan hidup. Maka kami menghormati, menghargainya dan menjaga-merawatnya. Namun, sungguh ironis di zaman sekarang ini manusia tidak lagi memikirkan sebab-akibat dari perbuatannya. Sebagai contoh manusia menebang pohon-pohon di hutan, membuka lahan perkebunan berskala besar (kelapa sawit), menambang emas secara legal atau ilegal di sungai, dan sebagainya, sehingga terjadi banjir dan merusak serapan air dalam tanah serta mencemarkan air, tanah, udara bagi warga di sekitarnya. Selain itu, orang zaman sekarang lebih suka membuang sampah organik dan anorganik, menggunakan pupuk dan pestisida yang kimia, dan limbah industry, sehingga menjadi polusi lingkungan hidup. Perilaku tersebut mendatangkan krisis bagi lingkungan hidup dan muncul wabah penyakit Covid-19 seperti yang kita alami.

Lanjut Bapak Yanto, bahwa perilaku tersebut sangat bertentangan dengan tradisi-budaya warisan leluhur dan hati nurani. Lingkungan hidup kita sudah rusak, sehingga perlu disembuhkan dan dipulihkan oleh manusia. Tanpa terkecuali kita semua mulai bergerak menanam pohon, tidak membuang sampah ke sungai, menjaga dan mempertahankan lahan yang ada supaya tidak dibuka berskala besar lagi, tidak menggunakan bahan-bahan kimia seperti pupuk-pestisida kimia, dan sebagainya yang mana merusak lingkungan hidup. “Jika ingin hidup sehat, jagalah kebersihan lingkungan hidup, jika mau alam tetap indah dan lestari jangan menebang pohon dan membuka lahan berskala besar. Jika hendak bebas dari Covid-19 gunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak-jauh dari kerumunan massa”, demikian pesan Bapak Yanto.  Selain itu, dalam menjaga dan merawat lingkungan hidup, perlu ada proses penyadaran dan pendidkan kepada generasi muda zaman milenial ini. Pendidikan perlu mendekatkan mereka dengan lingkungan hidup sesuai dengan kearifan lokal. Sejak dini mereka perlu ditanamkan dan dibakali bahwa hidup kita sangat tergantung dan membutuhkan alam sesuai dengan kearifan lokal (adat-budaya Dayak). 

Sebagian besar masyarakat adat di setiap tempat memiliki nilai hidup organik, kearifan lokal dalam menjaga biodiversity (keanekaragaman hayati), memiliki perilaku konservasi (menjaga lingkungan secara berkelanjutan) sudah mengakar dan diturunkan dari generasi ke generasi dalam berelasi-berhubungan dengan alam. Lingkungan hidup telah membentuk budaya yang kompleks dan menjadi sistem keyakinan masyarakat adat. Perilaku masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidup masih mentaati aturan adat-budaya. Sebagai hukum, adat mengatur etika dalam pengelolaan lahan, pemanfaatan hutan dan sungai. Hal ini menjadi dasar atas pemikiran, persepsi dan sikap yang diwariskan sepanjang generasi. Masyarakat adat bertugas menjaga keharmonisan alam, dengan cara menghormati dan bertanggung jawab atas hewan dan tanaman (biosfer) di lingkungan hutan. 

Peralihan dari masyarakat agraris ke industri dan masuk zaman modern (globalisasi-teknologi) dapat menggeser relasi manusia dengan lingkungan hidup. Masyarakat kampung dihadapkan kepada pendatang baru yang bekerja di perkebunan, perkayuan dan pertambangan. Perubahan budaya dan sistem tradisional-modern sungguh berdampak pada cara berelasi dan memperlakukan alam sebagai sumber kehidupan. Agar pemberdayaan potensi masyarakat adat tetap memperhatikan nilai budaya (kearifan lokal), kesejahteraan, kemerdekaan akses atas hak masyarakat indigenous dalam menentukan (self-determine) model bagi komunitas mereka sendiri. Hal ini diperlukan ada perlindungan tata hukum lokal (adat) dan pranata berfungsi dalam mengatur perilaku masyarakat sebagai penguat dan pengontrol perilaku ekologis. 

Tanpa alam semesta kita manusia tidak akan hidup, artinya kita membutuhkan alam, sedangkan alam tidak membutuhkan manusia. Maka kita memerlukan persepsi yang sama atas alam-lingkungan hidup yang menyediakan kebutuhan bagi manusia baik masyarakat adat maupun kapitalis, sehingga tidak menimbulkan konflik. Paling tidak persepsi yang dibangun bukan lagi eksploitasi yang merusak yang menuju kepunahan melainkan konservasi yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab. Dengan demikian, kita semua dipanggil untuk menyembuhkan dan memulihkan ibu bumi rumah kita yang sedang sakit (krisis) ini. ⚫

*Wawancara tim JPIC-Bruder MTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *